Selasa, 17 November 2015

Ini Dia,Orang Paling Cerdas dan Paling Zuhud di Masanya!!





Pada suatu malam, seorang anak kecil bernama Yahya terjaga dari tidurnya. Dia terkejut bukan main, ketika tiba-tiba sebuah cahaya yang amat terang menyinari rumahnya. Seketika tubuhnya bergetar, bulu kuduknya berdiri. Rasa bingung dan takut menjadi satu bercampur dengan takjub. Dia bertanya-tanya, cahaya apa ini? Namun, dia hanyalah seorang anak kecil. Umurnya baru tujuh tahun, tak banyak yang dia ketahui. Yahya hanya dapat memutuskan untuk segera berlari menuju orang tuanya. Dia bangunkan orang tuanya kemudian bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya.
Ayahnya mendengarkan dan menyimak setiap kata yang diucapkan Yahya. Dia baru sadar, ternyata malam itu bertepatan dengan malam ke-27 ramadhan. Para ulama mengatakan bahwa malam itu laylatul qadr diharapkan akan turun. Dia memikirkan sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Mungkin ini adalah tanda dariAllah, pikirnya. Maka dia paham apa yang harus dilakukannya. Keesokan harinya, Yahya dihantarkan kepada seorang guru penghafal Alquran terbaik saat itu. Dia diminta ayahnya untuk menghafal Alquran, karena dengan begitudia akan menjadi anak yang lebih baik pada masa yang akan datang. Yahya tidak menolak dantidak memberontak, dia menerima keputusan ayahnya, malahan dia sangat menyukai penghafalan Alquran.
Kecintaannya kepada Alquran menjadikannya hafiz sebelum aqil baligh. Suatu ketika, dia dipaksa ber-main oleh teman-temannya padahal saat itu dia sedang mengulang-ulang hafalannya. Dia menolak, tetapi teman-teman semakin memaksanya. Akhirnya dia menangis karena tidak suka bermain. Yahya lebih suka menghafal Alquran. Terpaksa dia menuruti kemauan teman-temannya. Tetap saja, karena kecintaannya pada Alquran, dia mengulang-ulang hafalannya saat bermain. Seorang ulama pada masa itu yang bernama Syaikh Yasin bin Yusuf az-Zarkasyi, melihat kejadian tersebut. Dia merasa ada sesuatu yang istimewa pada anak berumur sepuluh tahun itu, kemudian didatangilah orang tuanya dan dia berpesan, “Kelak Yahya akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya.” Ayah Yahya terperanjat, “Apakah kamu ini dukun sehingga dapat berbicara seperti itu?” ucapnya. “Tidak!” timpal Syaikh Yasin, “karena Allah telah menjadikan lisanku berkata demikian.”
Di kemudian hari anak kecil bernama Yahya ini memang dikenal sebagai ulama yang paling zuhud, dan paling cerdas pada masanya. Dialah Al-Imam An-Nawawi.
KISAH KETELADANANNYA
Ada tiga kisah yang paling berkesan, yang mencerminkan kecerdasan dan kezuhudannya. Al-Imam An-Nawawi, bukanlah orang yang sejak kecil selalu bemalas-malasan. Setiap hari, setiap saat, dia selalu belajar dan belajar, mengulang dan mengulang apa yang dihafalkannya. Bahkan, menginjak remaja dia tidak pernah sengaja meletakkan lambungnya di tempat tidur. Artinya, Al-Imam An-Nawawi tidak pernah menyengaja untuk tidur. Dia selalu tertidur di atas tumpukan buku-bukunya.
SERIUS DALAM BELAJAR
Suatu ketika, bersama Ayahnya, Imam Nawawi bermukim di Madinah. Hari-harinya dilalui dengan belajar dua belas mata pelajaran. Dia belajar hadist, tafsir, nahwu, bahkan ilmu kedokteran. Bayangkan! Dua belas mata pelajaran dalam sehari! Jika satu mata pelajaran saja 50 menit, maka muraja- 'ahnya selama itu juga. Belum ibadahnya. Lantas, kapan dia tidur? Dia tidak pernah tidur, kecuali untuk sesaat.
TIDAK PERNAH MAKAN APEL
Pada waktu itu, di Damaskus sedang populer buah apel. Banyak kebun di sana ditanami buah apel. Selain lezat, buah itu mencerminkan strata sosial menengah ke atas atau kalangan orang mampu, tetapi Imam Nawawi tidak pernah makan bu-ah tersebut. Ada seseorang bertanya kepadanya tentang hal itu, “Mengapa buah selezat ini tidak menarik hatimu?” Ternyata, pada waktu itu di Damaskus ada banyak sekali tanah wakaf. Akan tetapi tanah itu banyak yang hilang. Kebanyakan dari tanah itu ditanami buah apel. Imam Nawawi berkata, “Dari semua buah apel, hanya satu dari sepuluh ribu yang ditanam tidak memakai tanah wakaf,” sehingga Imam Nawawi pun enggan memakan hasil dari tanah wakaf yang hilang.
MENOLAK MENGELUARKAN FATWA DHOLIM
Di Damaskus, pada masa pemerintahan Raja Zahir Bebres, raja menghendaki sebuah fatwa dari para ulama agar dapat menghimpun dana dari rakyat untuk membeli senjata guna menghadapi serangan bangsa Tartar. Seluruh ulama memberikan fatwa tersebut, kecuali satu. Dialah Al-Imam An-Nawawi. Zahir Bebres geram. Dia memerintahkan utusannya untuk menjemput Imam Nawawi. Setelah Imam Nawawi sampai di Istana, ditanyalah dia oleh Raja Zahir Bebres, “Mengapa engkau tidak mau memberikan fatwa untuk mengumpulkan musuh islam?” Imam Nawawi menjawab, “Ketahuilah, dulu engkau hanyalah budak. Sekarang saya melihatmu memiliki banyak harta, pelayan, tanah dan perkebunan. Jika semua itu telah engkau jual untuk membeli senjata, kemudian habis sedangkan engkau masih memerlukan dana untuk mempersiapkan kaum muslimin, maka saya akan memberikan fatwa itu padamu.” Murkalah Zahir Bebres. Dia memerintahkan kepada pengikutnya agar gaji Imam Nawawi dipotong dan diturunkan dari segala kedudukannya. Ternyata, dikabarkan kepada Raja, Imam Nawawi selama mengajar tidak pernah digaji, dan dia tidak pernah menduduki posisi apapun. Dia bukanlah seorang menteri, hakim, atau apapun. Maka raja pun tersentak. Pengikutnya menyarankan untuk membunuhnya, “Engkau mempunyai kedudukan, tuanku, mengapa Engkau tidak membunuhnya saja?” Tetapi, apa kata raja? “Saya segan kepada ulama yang satu ini.” Lalu pengikutnya menyarankan untuk mengusirnya keluar dari Damaskus. Maka raja pun memerintahkan demikian. Akhirnya Imam Nawawi pergi ke suatu desa bernama Nawa. Dari sanalah dia dikenal sebagai An-Nawawi.
Ketika para ulama mengetahui bahwa Imam Nawawi diusir keluardari Damaskus, mereka berontak kepada raja. “Kami tidak mampu hidup tanpa Imam Nawawi!” Raja pun membalas, “Kembalikan dia ke Damaskus lagi!” Akan tetapi Imam Nawawi menolak kembali ke Damaskus dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan kembali ke Damaskus selama raja Zahir Bebres masih berada di sana.” Sebulan kemudian Imam Nawawi kembali ke Damaskus, karena Allah telah meniadakan Raja Zahir Bebres dari muka bumi. Demikianlah kisah Al-Imam An- Nawawi, seorang ulama paling zuhud dan paling cerdas pada zamannya. Darinya kita dapat mengambil pelajaran, bahwa ilmu itu tidak mendatangi si penuntut ilmu, tetapi ilmu itu dijemput oleh si penuntut ilmu, sebab ilmu tidak akan pernah didapat tanpa kesungguhan. Darinya kita juga dapat mengambil pelajaran tentang kehati-hatian. Dia tidak mau makan apel hanya karena ditanam di tanah wakaf yang hilang walaupun dibeli dengan uang halal. Itulah bentuk kehati-hatiannya. Fatwanya? Merupakan hal yang seharusnya, sebab penindasan kepada rakyat hanya akan menciptakan kesengsaraan.
Diambil dari:
Majalah Arabiy MAGAZINE vol 1 edisi 1 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar