Rabu, 26 Agustus 2015

Puasa paling Ekstrim

Ribuan tahun yang lalu, biksu Shugendo atau disebut juga Sokushinbutsu (即身仏) menjalankan praktek mem-mumifikasi diri sendiri dimana para bhikshu ini menyiksa diri sendiri bertahun-tahun lamanya sampai dirinya mati dalam keadaan yang bahkan ulat dan serangga pun tidak sanggup untuk memakannya. Proses ini terdiri dari 3 tahap yang masing-masing tahap lamanya 1000 hari.
Tahap pertama
1000 hari di tahap pertama adalah dimana sang bhiksu hanya memakan kacang-kacangan dan buah berry yang didapati di sekitar hutan dan ditambah dengan olahraga keras yang fungsinya akan menguras lemak-lemak pada badan mereka.

Tahap kedua
1000 hari di tahap kedua sang bhiksu hanya memakan akar-akaran dari pohon pinang dimana di tahap kedua ini sang bhiksu akan berubah seperti tengkorak karena sangat kurusnya.

Tahap ketiga
1000 hari tahap terkahir adalah dimana sang bhiksu sudah mulai meminum teh yang terbuat dari zat-zat pohon yang beracun. Meminum teh ini akan mengakibatkan mereka muntah, berkeringat, dan lainnya yang bertujuan mengeluarkan semua cairan tubuh sang bhiksu.
Tetapi yang lebih penting lagi adalah agar setelah mati cairan di badannya akan mengeluarkan racun yang akan mematikan semua ulat maupun serangga yang mencoba memakan badannya. Dengan demikian mayat sang bhikshu akan menjadi mumi yang bersih dan tidak hancur oleh ulat-ulat pemakan bangkai.

Di tahap ketiga inilah para bhikshu tersebut akan masuk ke dalam gua yang sangat sempit yang hanya cukup untuk duduk bersila. Mereka masuk dengan membawa bel dan setiap hari mereka akan membunyikan bel yang menandakan bahwa mereka masih hidup. Setelah bel tersebut tidak berbunyi lagi, maka gua tersebut akan disegel dan sang bhiksu dianggap telah mencapai kesempurnaan.
Praktek para bhiksu ini sudah dilarang di Jepang semenjak akhir abad ke 18. Diperkirakan ratusan bhiksu yang melakukan hal memumifikasi diri sendiri, tetapi hanya sekitar 16-24 Mumi Sokushinbutsu yang ditemukan. Walaupun praktek ini telah dilarang secara hukum, pada bulan Juli 2010 masih ditemukn Sokushinbutsu yang terbaru di Tokyo.

http://j-cul.com/cara-ekstrim-biksu-mem-mumifikasikan-dirinya/

Muhammad Ali Kenal Tinju Gara-gara Sepeda Dicuri



TEMPO.CO, Louisville - Perjalanan karier Muhammad Ali sebagai petinju hingga menjadi juara tinju tiga kali kelas berat dunia bermula dari sepedanya yang dicuri. Cassius Clay Junior, nama lahir Ali, mengadu kepada polisi Joe Martin yang juga pelatih tinju. Pertemuannya dengan Martin inilah yang kemudian membuatnya tertarik pada tinju.

Cassius yang saat itu berumur 12 tahun datang ke kantor polisi sambil menangis. Niatnya ingin membuat laporan kehilangan sepeda. Tapi Martin malah mengajaknya berlatih tinju di Columbia Gym agar bisa menggebuki maling yang sudah mencuri sepedanya. Sejak itulah, Ali menekuni tinju.

Meskipun masih bocah, Ali ternyata sudah bercita-cita menjadi juara dunia tinju. Menurut teman kecilnya, Lawrence Montgomery, Ali sudah kerap berkoar tentang ambisinya itu ketika bermain bersama. “Man, lebih baik kamu buang jauh-jauh pikiran itu,” katanya seperti dikutip AP. Tapi Cassius muda terus berlatih.

Tekadnya kuat. Hanya dalam hitungan minggu sejak kecolongan sepeda, ia naik ring untuk pertama kali. Hasilnya mengagumkan. Ia menang dan mendapatkan bayaran setara dengan Rp 36 ribu. Menurut Martin, muridnya menonjol karena memiliki determinasi lebih dari petinju lain.

Empat tahun kemudian, Cassius menghubungi pelatih tinju Angelo Dundee. Dengan percaya diri, ia memperkenalkan diri pada Dundee. "Saya Mr Cassius Clay, pemenang turnamen ini dan itu, ingin jadi juara dunia berat. Saya ingin bertemu dengan Anda," kata Dundee menirukan ucapan Ali junior lewat telepon saat dihubungi Tempo di Washington bulan lalu.

Selanjutnya, ia meminta Dundee menjadi pelatihnya. Dua tahun berlatih dengan Dundee, Cassius meraih medali emas Olimpiade Roma 1960 untuk Amerika Serikat.

Pada Oktober 1960, Cassius menjadi petinju profesional. Uang kontrak senilai US$ 10 ribu (Rp 89 juta) digenggamnya. Di bawah asuhan Dundee, ia mengarungi 19 pertandingan tanpa kalah. Hingga di 25 Februari 1964, ia berkesempatan melawan juara dunia kelas berat Sonny Liston. Meski tak diunggulkan, The Greatest, julukan Cassius, mendominasi pertandingan sehingga ia menang technical knockout sekaligus menyandang gelar juara dunia pada usia 22 tahun.

Sehari kemudian, dia memproklamasikan diri sebagai anggota Nation of Islam, gerakan pembela hak warga kulit hitam dan pengajar Islam Amerika Serikat. Kemudian ia mengganti namanya menjadi Muhammad Ali.

Sembilan kali Ali sukses mempertahankan gelarnya. Namun, gelar itu dicopot Komisi Tinju Amerika Serikat pada 1967 setelah ia menolak wajib militer untuk Perang Vietnam. Ia memilih gelarnya hilang daripada mesti memerangi Vietnam. Sebab, Ali menilai itu bertentangan dengan ajaran agamanya.

Tiga tahun setelah gelarnya dicopot, Ali kembali naik ring. Setelah mengalahkan dua petinju, ia lalu menantang juara dunia Joe Frazier. Partai yang menampilkan dua petinju tak terkalahkan itu bertajuk “Fight of Century” dan berlangsung di New York, 8 Maret 1971. Di tangan Frazier inilah, Ali mengalami kekalahan pertamanya. Ia harus mengarungi 14 pertandingan sebelum akhirnya berhasil merebut kembali gelarnya dari tangan George Foreman, Oktober 1974.

Setelah itu ia sukses mempertahankan gelarnya dalam 10 pertandingan sebelum gelar itu lepas akibat kalah angka dari Leon Spink. Setahun kemudian, barulah Ali kembali merebut gelarnya lagi. Namun, pada Oktober 1980, gelar itu kembali hilang setelah dikalahkan Larry Holmes, mantan lawan latih tandingnya. Upayanya kembali ke ring tinju dengan menantang Trevor Berbick gagal karena ia mengalami sesak napas. Setelah itu, 12 Desember 1981, di usia hampir 40 tahun, dia memutuskan pensiun.

RINA W| REZA M| VICTORIA SIDJABAT (LOUISVILLE)

Wawancara Terakhir Tempo dengan Pelatih Muhammad Ali



TEMPO.CO, Washington - Angelo Dundee adalah sosok di balik kesuksesan Muhammad Ali. Lahir dengan nama Angelo Mirena di Philadelphia, 30 Agustus 1921, sejak awal dia membimbing Ali menapaki karier sebagai petinju profesional dari 1961 sampai pensiun pada 1981.

Di umur 90 tahun, ingatan pelatih yang diabadikan dalam Hall of Fame dunia tinju di New York ini masih setajam jab Ali pada masa jaya. Ia masih mengingat saat pertama bertemu dengan Ali sampai pembicaraan terbarunya. Dundee memanggil Ali dengan sebutan Kid. "Kan, saya lebih tua 20 tahun," katanya. Ali memanggilnya Angie.

Koresponden Tempo di Washington, DC, Victoria Sidjabat, berbincang dengannya lewat telepon saat Dundee berada di rumahnya di Clearwater, Florida, pada pertengahan Januari, sebelum Dundee wafat hari ini, Rabu, 1 Februari 2012. Pendengarannya yang jauh menurun membuat asistennya harus berulang kali menyebutkan pertanyaan yang diajukan. Tapi, begitu sudah berbicara, Dundee sulit dihentikan.

Kapan pertama kali Anda bertemu dengan Ali?
Pada 1958. Waktu itu saya sedang beristirahat bersama Willie Pastrano (anak asuhnya, juara dunia kelas berat ringan 1963-1965) di sebuah hotel di Louisville saat telepon berbunyi. "Saya Mr. Cassius Clay, pemenang turnamen ini dan itu, ingin jadi juara dunia kelas berat. Saya ingin bertemu dengan Anda." Sambil menutup gagang telepon, saya berbisik kepada Willie, "Ada orang gila ingin bertemu dengan kita, kamu mau enggak?" Willie mengiyakan karena tidak punya pekerjaan lain.

Dalam pertemuan itu, kami berbicara selama tiga jam! Anak muda ini sangat menarik. Dia memiliki minat besar dan tahu banyak soal tinju. Cerita bagaimana dia berlatih, berlari jauh untuk menjaga stamina, dan sudah memiliki konsep sendiri tentang tinju.

Anda juga melatih 15 juara dunia, termasuk George Foreman dan Sugar Ray Leonard. Apa yang membedakan Ali dengan petinju lain?
Dia sangat berbeda. Dari kepribadian, dia punya mimpi dan motivasi besar. Dia satu-satunya petinju yang datang dan mengatakan, "Saya ingin jadi yang terbaik." Yang terpenting, dia mau bekerja keras meraih impiannya.

Bagaimana dengan kemampuan fisiknya?
Muhammad memiliki kemampuan fisik yang luar biasa kuat. Kakinya panjang dan kokoh, otot tangannya bagus, pergerakannya luar biasa. Dia memang memiliki bakat besar di tinju. Semua keunggulan itu membuat dia tercatat sebagai petinju terbesar dalam sejarah. Saya tidak memiliki murid lain setangguh dia. Di masa itu, seseorang belum bisa dikatakan sebagai juara dunia kalau belum bertarung dengan Muhammad. Dia adalah Champion of Warrior, jawara petarung. Belum tergantikan hingga kini.

Anda juga melatihnya untuk bermulut besar?
Tugas saya melatih teknik di ring tinju. Setiap petinju punya gaya dan karakter berbeda. Taktik seperti itu membuat orang tertarik dan datang menonton pertandingan.

Anda setuju dengan sebutan The Greatest?
Sebutan terbaik untuknya adalah petinju, petarung, dan jawara besar. Semua orang membicarakannya. Semua kagum kepadanya. Tidak ada satu pun petinju yang orang perbincangkan seperti Muhammad Ali, bahkan sampai sekarang. Saya bangga pernah menjadi pelatihnya.

Kapan Anda terakhir bertemu dengan Ali?
Sewaktu perayaan ulang tahunnya di Louisville kemarin. Acara itu sangat hangat. Saya melihat Ali sebagai orang baik yang dikelilingi orang-orang yang mencintainya.

Sebagai teman lama, bagaimana Anda menjaga hubungan?
Dulu kami ke mana-mana selalu bersama, berkeliling dunia. Sekarang kami menjaga komunikasi lewat telepon. Kadang Ali menelepon saya, kadang saya menelepon dia. Hampir setiap hari. Biar cuma sebentar dan dia tak dapat berbicara banyak, kami saling berbagi kabar dan semangat. Kami seperti keluarga dan selalu seperti itu.

Apa saja yang dibicarakan?
Dia pernah bilang, "Angie, aku ingin datang dan berlatih. Itu hal yang paling aku rindukan, berada di sasana dan berlatih sampai mandi keringat." Saya jawab, "Aku juga ingin berlatih, Kid. Tapi kita tidak bisa melakukan itu. Yang bisa kulakukan sekarang adalah meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu."

Di luar ring tinju, bagaimana Anda memandang Ali?
Dia penegak hak asasi manusia, memiliki nilai kemanusiaan dan cinta kasih yang tinggi. Dia mencintai kehidupan dan mencintai banyak orang. Saya sulit menceritakan betapa menyenangkannya bisa berbagi waktu dengan anak ini. Hubungan terbaik yang bisa dua orang dapatkan. Dia mengajariku menjadi sabar dan kuat. Dia mau bersahabat dengan semua orang. Muhammad adalah hadiah terbaik untuk dunia ini.

REZA MAULANA | VICTORIA SIDJABAT (WASHINGTON DC) 

 http://sport.tempo.co/read/news/2012/02/02/104381261/wawancara-terakhir-tempo-dengan-pelatih-ali

Larry Holmes pernah mengalahkan Muhammad Ali




TEMPO.CO, Louisville -Larry Holmes pernah mengalahkan Muhammad Ali saat bertarung di Las Vegas, Oktober 1980. Juara dunia tinju kelas berat itu sempat membuat Ali tidak berkutik hingga pelatihnya Angelo Dundee melemparkan handuknya di akhir ronde ke-10. Kemenangan itu membuat Holmes menganggap dia lebih hebat ketimbang peraih juara dunia tiga kali tersebut.

“Siapa bilang Ali yang terhebat? Saya yang terhebat. Saya yang merobohkan dia? Artinya saya yang lebih hebat,” kata Holmes saat ditemui koresponden Tempo pada pertengahan Januari lalu.

Holmes, 62 tahun, merasa lebih hebat. Ia setuju karib sekaligus lawannya itu disebut salah seorang petinju hebat. “Dia memang petarung hebat di atas ring tinju. Cuma dia tidak pernah mengalahkan saya,” ujarnya.

Setelah menggantungkan sarung tinju, Holmes menjadi pengusaha hiburan dan restoran. Ia mengaku terakhir kali bertemu Ali pada November tahun lalu ketika pemakaman mantan petinju Joe Frazier. “Kami saling sapa, bersalaman, dan berpelukan,” kata Holmes yang berteman dengan Ali sejak 1971.

Holmes menyayangkan kondisi Ali yang sulit bicara akibat penyakit gangguan saraf, Parkinson. Menurut dia, seharusnya Ali tak berkarier terlalu lama. “Lihatlah dia kena Parkinson. Petinju harus memikirkan masa depan,” kata mantan teman latih tanding Ali itu.

Bagi Holmes, Ali adalah teman sekaligus lawan. Keduanya sering pergi bersama-sama termasuk ke sejumlah negara di belahan dunia selama lima tahun. Meski bersahabat, keduanya adalah rival di atas ring tinju. “Ali selalu jadi lawan baik di atas ring sekaligus kawan setelah berlaga,” ujarnya. Holmes boleh saja membanggakan dirinya sebagai penakluk Ali.

RINA WIDIASTUTI |REZA M| VICTORIA SIDJABAT (LOUISVILLE)

 http://article.wn.com/view/2012/02/05/Larry_Holmes_Muhammad_Ali_Bukan_Petinju_Terhebat/